Zat warna menurut Witt (1876:70) merupakan gabungan zat organik tidak jenuh, kromofor dan auksokrom. Zat organik tidak jenuh adalah molekul zat warna
 yang berbentuk senyawa aromatik yang terdiri dari hidrokarbon aromatik,
 fenol dan senyawa yang mengandung nitrogen. Kromofor adalah pembawa 
warna sedangkan auksokrom adalah pengikat antara warna dengan serat. 
Zat warna telah dikenal manusia sejak 2500 tahun sebelum masehi, zat warna pada masa itu digunakan oleh masyarakat China, India dan Mesir, mereka membuat zat warna alam dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, binatang dan mineral untuk mewarnai serat, benang dan kain. Peningkatan mutu sumber daya manusia dan teknologi saat ini menjadikan zat warna kian berkembang dengan pesat. Keterbatasan zat warna alam membuat industri tekstil menggunakan zat warna buatan (sintetik) sebagai pewarna bahan tekstil, karena zat warna sintetik lebih banyak memiliki warna, tahan luntur dan mudah cara pemakaiannya ketimbang zat warna alam yang kian sulit diperoleh. 
Secara umum zat pewarna
 pada makanan digolongkan menjadi dua kategori yaitu zat pewarna alami 
dan zat pewarna sintetis. Zat pewarna alami merupakan zat pewarna yang 
berasal dari tanaman atau buah-buahan. Secara kuantitas, dibutuhkan zat 
pewarna alami yang lebih banyak daripada zat pewarna sintetis untuk 
menghasilkan tingkat pewarnaan yang sama. Pada kondisi tersebut, dapat 
terjadi perubahan yang tidak terduga pada tekstur dan aroma makanan. Zat
 pewarna alami juga menghasilkan karakteristik warna yang lebih pudar 
dan kurang stabil bila dibandingkan dengan zat pewarna sintetis. Oleh 
karena itu zat ini tidak dapat digunakan sesering zat pewarna sintetis.
Dewasa ini keamanan 
penggunaan zat pewarna sintetis pada makanan masih dipertanyakan di 
kalangan konsumen. Sebenarnya konsumen tidak perlu khawatir karena semua
 badan pengawas obat dan makanan di dunia secara kontinyu memantau dan 
mengatur zat pewarna agar tetap aman dikonsumsi. Jika ditemukan adanya 
potensi risiko terhadap kesehatan, badan pengawas obat dan makanan akan 
mengevaluasi pewarna tersebut dan menyebarkan informasinya ke seluruh 
dunia. Pewarna yang terbukti mengganggu kesehatan, misalnya mempunyai 
efek racun, berisiko merusak organ tubuh dan berpotensi memicu kanker, 
akan dilarang digunakan. Di Indonesia tugas ini diemban oleh Badan 
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pemerintah 
Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 
No.239/Menkes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna berbahaya. Rhodamine B 
termasuk salah satu zat pewarna yang dinyatakan sebagai zat pewarna 
berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan. Namun demikian, 
penyalahgunaan rhodamine B sebagai zat pewarna pada makanan masih sering
 terjadi di lapangan dan diberitakan di beberapa media massa. Sebagai 
contoh, rhodamine B ditemukan pada makanan dan minuman seperti kerupuk, 
sambal botol dan sirup di Makassar pada saat BPOM Makassar melakukan 
pemeriksaan sejumlah sampel makanan dan minuman ringan.
Rhodamine B 
termasuk zat yang apabila diamati dari segi fisiknya cukup mudah untuk 
dikenali. Bentuknya seperti kristal, biasanya berwarna hijau atau ungu 
kemerahan. Di samping itu rhodamine juga tidak berbau serta mudah larut 
dalam larutan berwarna merah terang berfluorescen. Zat pewarna ini 
mempunyai banyak sinonim, antara lain D and C Red no 19, Food Red 15, 
ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine dan Brilliant Pink B. Rhodamine biasa 
digunakan dalam industri tekstil. Pada awalnya zat ini digunakan sebagai
 pewarna bahan kain atau pakaian. Campuran zat pewarna tersebut akan 
menghasilkan warna-warna yang menarik. Bukan hanya di industri tekstil, 
rhodamine B juga sangat diperlukan oleh pabrik kertas.
Fungsinya sama 
yaitu sebagai bahan pewarna kertas sehingga dihasilkan warna-warna 
kertas yang menarik. Sayangnya zat yang seharusnya digunakan sebagai 
pewarna tekstil dan kertas tersebut digunakan pula sebagai pewarna 
makanan.
Penggunaan zat 
pewarna ini dilarang di Eropa mulai 1984 karena rhodamine B termasuk 
karsinogen yang kuat. Efek negatif lainnya adalah menyebabkan gangguan 
fungsi hati atau bahkan bisa menyebabkan timbulnya kanker hati. Beberapa
 penelitian telah membuktikan bahwa zat pewarna tersebut memang 
berbahaya bila digunakan pada makanan. Hasil suatu penelitian 
menyebutkan bahwa pada uji terhadap mencit, rhodamine B menyebabkan 
terjadinya perubahan sel hati dari normal menjadi nekrosis dan jaringan 
di sekitarnya mengalami disintegrasi. Kerusakan pada jaringan hati 
ditandai dengan adanya piknotik (sel yang melakukan pinositosis) dan 
hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak dan sitolisis dari 
sitoplasma.
Dalam analisis yang
 menggunakan metode destruksi yang kemudian diikuti dengan analisis 
metode spektrofometri, diketahui bahwa sifat racun rhodamine B tidak 
hanya disebabkan oleh senyawa organik saja tetapi juga oleh kontaminasi 
senyawa anorganik terutama timbal dan arsen (Subandi 1999). Keberadaan 
kedua unsur tersebut menyebabkan rhodamine B berbahaya jika digunakan 
sebagai pewarna pada makanan, obat maupun kosmetik sekalipun. Hal ini 
didukung oleh Winarno (2004) yang menyatakan bahwa timbal memang banyak 
digunakan sebagai pigmen atau zat pewarna dalam industri kosmetik dan 
kontaminasi dalam makanan dapat terjadi salah satu diantaranya oleh zat 
pewarna untuk tekstil.
Bukan kali pertama 
kalau diberitakan jajanan anak sekolah (dan orang dewasa) tidak 
menyehatkan. Bahaya makanan jajanan sekolah dan makanan umum lainnya 
bisa muncul untuk jangka pendek, bisa juga pada jangka panjang. Jangka 
pendek, terjadi keracunan makanan sebab tercemar mikroorganisme, 
parasit, atau bahan racun kimiawi (pestisida). Muntah dan diare sehabis 
mengonsumsi jajanan paling sering ditemukan. Sedangkan bahaya jangka 
panjang jajanan yang tidak menyehatkan apabila bahan tambahan dalam 
makanan-minuman bersifat pemantik kanker, selain kemungkinan gangguan 
kesehatan lainnya.
Kita menyaksikan 
hampir semua kalangan di Indonesia, baik anak sekolah, orang kantoran di
 kota besar, apalagi yang di pedesaan, rata-rata sudah tercemar oleh 
beragam bahan kimiawi berbahaya dalam makanan. Sebagai contoh adalah 
saus tomat. Tidak sedikit saus tomat yang beredar terbuat dari ubi, 
cuka, dan zat warna tekstil (rhodomin-B). Zat warna tekstil inilah yang 
diperkirakan berpotensi menimbulkan keluhan tersebut.
Tidak hanya sekadar
 pusing belaka yang ditakutkan, melainkan juga bahaya jangka panjangnya.
 Zat warna tekstil jenis itu bersifat pemantik munculnya kanker bila 
dikonsumsi rutin untuk waktu yang sama.
Kita menyaksikan 
yang ada di meja makan warung nasi, penjual bakmi bakso, dan kantin 
sekolah, kemungkinan besar jenis saus tomat semacam itu. Kalau tidak, 
kenapa harganya bisa rendah sekali? Kecurigaan harus muncul bila ada 
saus tomat semurah itu. Bukan cuma dalam saut tomat, zat warna tekstil 
rhodomin-B juga konon pernah ditemukan dalam lipstik dan pemerah pipi, 
selain bahan pewarna panganan dan jajanan, termasuk mungkin dalam sirup 
murah.
Dalam sebuah 
reportase sebuah stasiun TV swasta menyiarkan tayangan pembuatan sirup 
yang dijajakan di sekolah tersebut kurang higienis, memakai air mentah 
(belum dimasak) dan zat warna buatan yang diduga rhodomin-B juga.
Sirup dan limun 
murah di jajanan sekolah ini yang membuat kita prihatin. Generasi anak 
sekolah (pinggiran, dari ekonomi kurang mampu) kita tengah memanggul 
risiko terkena kanker saat dewasa, selain bahaya infeksi perut dadakan.
Dari penjelasan di 
atas dapat disimpulkan bahwa dampak penggunaan zat warna tekstil pada 
makanan sangat berbahaya dan penggunaannya dilarang oleh pemerintah. 
Karena penambahan zat warna pada makanan berdampak pada kesehatan 
manusia. Dalam jangka pendek, terjadi infeksi pada perut, keracunan, 
muntaber dan diare. Sedangkan untuk jangka panjangnya, berpotensi 
munculnya penyakit kanker.
Solusi yang solutif 
untuk menggantikan penggunaan zat pewarna sintetis adalah dengan 
menggunakan pewarna alami seperti ekstrak daun suji, kunyit dan ekstrak 
buah-buahan yang pada umumnya lebih aman. Di samping itu masih ada 
pewarna alami yang diijinkan digunakan dalam makanan antara lain 
caramel, beta-karoten, klorofil dan kurkumin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar